Sabtu, 21 Agustus 2010

Beli Laptop, DPRD Gelontor Rp 534 Juta

Harian Joglosemar,
Sabtu, 21/08/2010 09:00 WIB - cka/apl

SOLO—Sebanyak 40 anggota Dewan periode 2009-2014 bakal mendapatkan fasilitas laptop baru. Untuk pengadaannya sudah disiapkan anggaran sebesar Rp 534 juta dalam APBD 2010. Rencana itu langsung menyulut sikap kritis dari masyarakat.
Sehubungan dengan lelang pengadaan laptop untuk anggota Dewan ini, Sekretariat Dewan (Setwan) telah membuka pengumuman sejak 16 Agustus lalu. Dijadwalkan masa pendaftaran akan berakhir pada 27 Agustus mendatang. Dalam surat pengumuman lelang bernomor 050/02/PPJB-Setwan/VIII/ 2010 yang ditandatangani Ketua Pengadaan Laptop, dokter Sumartono Kardjo Mkes tersebut menginformasikan harga perkiraan sendiri (HPS) mencapai Rp 500 juta.
“Pagu anggaran pengadaan laptop sebenarnya Rp 534 juta. Namun spesifikasi laptop yang dicari sudah jauh ketinggalan sehingga kemudian dicari yang harganya mendekati yaitu HPS Rp 500 juta,” terang Sumartono ketika dihubungi, Jumat (20/8). Dikatakan, harga itu sudah termasuk asuransi barang jika laptop hilang.
Dengan pagu Rp 534 juta, maka harga satuan laptop untuk 40 anggota Dewan sebesar Rp 13,35 juta. Sementara itu, Kabag Umum Setwan, Edhi Warsito Iko mengatakan, sejauh ini jumlah pendaftar lelang sudah mencapai 14 rekanan. Rencananya, pada Senin (23/8) mendatang akan digelar ahnwijzing (penjelasan).
Disinggung, tentang nasib fasilitas laptop anggota Dewan periode 2004-2009, Edhi mengatakan, sebagian besar masih dipinjam anggota Dewan periode saat ini. Dari total 40 laptop, sekitar 30-an laptop dipinjam oleh anggota Dewan periode 2009-2014.
Boros Anggaran
Lebih lanjut, ditanya mengenai masih adanya laptop untuk anggota Dewan periode 2004-2009 yang belum dikembalikan, Edhi tak menjawab secara spesifik. Namun dikatakan ada satu laptop yang tak kembali lantaran hilang. “Satu hilang dan sudah ada surat keterangan hilangnya akhirnya diganti. Empat lainnya tidak bisa dipakai karena rusak,” tegasnya.
Sementara itu, sejumlah anggota Dewan masih enggan berkomentar tentang pengadaan fasilitas laptop ini. Pimpinan Dewan (Pimwan) baik Ketua DPRD Kota Solo, YF Soekasno maupun Wakil Ketua DPRD Kota Solo, Muhammad Rodhi mengatakan persoalan itu menjadi urusan Setwan. Zainal Abidin, Koordinator Presidium Konsorsium Solo, kepada Joglosemar, Jumat (20/8) malam, mengaku tidak terkejut dengan rencana pemberian laptop setiap anggota Dewan. Dia menegaskan, jika rencana tersebut merupakan sebuah pemborosan terhadap uang negara.
“Jika dilihat dari kinerja para anggota Dewan, pemberian laptop seharga Rp 13 juta per unitnya, itu terlalu mewah dan termasuk pemborosan. Karena dengan anggaran sebesar itu, laptop yang didapatkan sangat bagus. Sedangkan kinerja para anggota Dewan hanya biasa-biasa saja sehingga penggunaannya tidak dapat maksimal,” tegas Zaenal yang juga Ketua Badan Pelaksana Harian Sari (BPHS).
Kecuali, lanjut Zainal, kalau kinerja anggota bagus dan sangat membutuhkan laptop berspesifikasi tinggi. “Laptop seharga Rp 6 juta menurut saya sudah sesuai dengan penggunaan mereka (anggota Dewan, red),” tandasnya.
Zainal mengatakan, mengenai mekanisme pengadaan juga perlu diawasi, karena meskipun dengan proses lelang, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya ketidaktransparan dalam proyek tersebut. “Laptop dicek dulu apakah masih bisa digunakan atau tidak, kalau masih (bisa digunakan) tidak perlu melakukan pengadaan laptop,” tutupnya.
Hal senada juga diungkapkan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS, Bery Nur Arif. Bery dengan tegas mengatakan, meskipun dengan pemberian laptop kepada setiap anggota Dewan, tidak serta merta meningkatkan eksistensi kinerja mereka.
“Belum ada parameter yang mengatakan kalau dengan pemberian laptop mampu meningkatkan kinerja. Mungkin pengadaan itu untuk senang-senang saja,” tegas Bery saat dihubungi Joglosemar, Jumat (20/8). Bery mengatakan, setidaknya dengan gaji lebih dari Rp 4 juta, para anggota Dewan mampu kalau hanya membeli laptop untuk pekerjaan mereka. (cka/apl)

Kamis, 19 Agustus 2010

Biji Kelor untuk pembersih air kotor

AIR khususnya air minum merupakan kebutuhan dasar manusia yang terpenting. Di beberapa daerah pedalaman dan pedesaan, terbatasnya sumber air minum membuat air sungai sering digunakan untuk keperluan keluarga sehari-hari dari mencuci, mandi, sampai masak dan minum.

Karena air sungai kotor, maka perlu dibersihkan dengan cara diendapkan lebih dahulu untuk memberi kesempatan bahan padat terlarut mengendap ke bawah. Apalagi bila air sungai yang akan digunakan diambil saat musim hujan. Air sungai biasanya akan mengandung partikel padatan lumpur, mikroba, serta berbagai kuman yang dapat menyebabkan penyakit.

Karena alasan tersebut, sebelum air sungai dapat digunakan memenuhi keperluan keluarga, sangat diperlukan tindakan untuk mengeluarkan dan memusnahkan sebanyak mungkin bahan-bahan pencemar yang terbawa.

Pusat-pusat pengolahan air perkotaan atau municipal water treatment dengan skala besar mengolah air dengan cara menambahkan senyawa kimia penggumpal (coagulants) ke dalam air kotor yang akan diolah. Dengan cara tersebut partikel-partikel yang berada di dalam air akan saling berdempetan menjadi suatu gumpalan yang lebih besar lalu mengendap. Baru kemudian air di bagian atas yang bersih dipisahkan untuk digunakan keperluan keluarga sehari-hari.

Namun demikian, zat kimia penggumpal yang baik tidak mudah dijumpai di berbagai daerah terpencil. Andaipun ada pasti harganya tidak terjangkau oleh masyarakat setempat.

Pemanfaatan potensi lokal
Salah satu alternatif yang tersedia secara lokal adalah penggunaan koagulan alami dari tanaman yang barangkali dapat diperoleh di sekitar kita. Barangkali ada baiknya bila pengalaman negara lain dapat dialihkan ke Indonesia. Pengalaman tersebut ternyata sudah dipraktikkan selama berabad-abad, meskipun hanya pada skala yang kecil.

Inilah hasil penelitian dari The Environmental Engineering Group di Universitas Leicester, Inggris, yang telah lama mempelajari potensi penggunaan berbagai koagulan alami dalam proses pengolahan air skala kecil, menengah, dan besar.

Penelitian mereka dipusatkan terhadap potensi koagulan dari tepung biji tanaman Moringa oleifera. Tanaman tersebut banyak tumbuh di India bagian utara, tetapi sekarang sudah menyebar ke mana-mana ke seluruh kawasan tropis, termasuk Indonesia. Di Indonesia tanaman tersebut dikenal sebagai tanaman kelor dengan daun yang kecil-kecil. Peribahasa Indonesia "Tidak selebar daun kelor" banyak digunakan di masyarakat.

Di luar negeri, khususnya di negara anglo-saxon, tanaman tersebut dikenal sebagai tanaman "drumstick" karena bentuk polong buahnya yang memanjang meskipun ada juga yang menyebut sebagai "horseradish" karena rasa akarnya menyerupai "radish".

Yang perlu diperhatikan adalah tanaman tersebut tumbuh cepat sekali baik dari biji maupun dari stek, bahkan bila ia ditanam di lahan yang gersang yang tidak subur. Jadi bagus dikembangkan di lahan-lahan kritis yang mengalami musim kekeringan yang panjang.

Budidaya tanaman Moringa atau kelor memerlukan pemeliharaan yang sangat minimal dan dapat tahan pada musim kering yang panjang. Cepat tumbuh sampai ketinggian 4-10 meter, berbunga, dan menghasilkan buah hanya dalam waktu 1 tahun sejak ditanam. Bahkan di kawasan India bagian selatan, setiap tahun dapat dilakukan dua kali panen.

Pembersihan air keluarga
Biji kelor dibiarkan sampai matang atau tua di pohon dan baru dipanen setelah kering. Sayap bijinya yang ringan serta kulit bijinya mudah dipisahkan sehingga meninggalkan biji yang putih. Bila terlalu kering di pohon, polong biji akan pecah dan bijinya dapat melayang "terbang" ke mana-mana.

Biji tak berkulit tersebut kemudian dihancurkan dan ditumbuk sampai halus sehingga dapat dihasilkan bubuk biji Moringa. Jumlah bubuk biji moringa atau kelor yang diperlukan untuk pembersihan air bagi keperluan rumah tangga sangat tergantung pada seberapa jauh kotoran yang terdapat di dalamnya. Untuk menangani air sebanyak 20 liter (1 jeriken), diperlukan jumlah bubuk biji kelor 2 gram atau kira-kira 2 sendok teh (5 ml).

Tambahkan sedikit air bersih ke dalam bubuk biji sehingga menjadi pasta. Letakkan pasta tersebut ke dalam botol yang bersih dan tambahkan ke dalamnya satu cup (200 ml) lagi air bersih, lalu kocok selama lima menit hingga campur sempurna. Dengan cara tersebut, terjadilah proses aktivitasi senyawa kimia yang terdapat dalam bubuk biji kelor.

Saringlah larutan yang telah tercampur dengan koagulan biji kelor tersebut melalui kain kasa dan filtratnya dimasukkan ke dalam air 20 liter (jeriken) yang telah disiapkan sebelumnya, dan kemudian diaduk secara pelan-pelan selama 10-15 menit.

Selama pengadukan, butiran biji yang telah dilarutkan akan mengikat dan menggumpalkan partikel-partikel padatan dalam air beserta mikroba dan kuman-kuman penyakit yang terdapat di dalamnya sehingga membentuk gumpalan yang lebih besar yang akan mudah tenggelam mengendap ke dasar air. Setelah satu jam, air bersihnya dapat diisap keluar untuk keperluan keluarga.

Efisiensi proses
Proses pembersihan tersebut menurut hasil penelitian yang telah dilaporkan mampu memproduksi bakteri secara luar biasa, yaitu sebanyak 90-99,9% yang melekat pada partikel-partikel padat, sekaligus menjernihkan air, yang relatif aman (untuk kondisi serba keterbatasan) serta dapat digunakan sebagai air minum masyarakat setempat.

Namun demikian, beberapa mikroba patogen masih ada peluang tetap berada di dalam air yang tidak sempat terendapkan, khususnya bila air awalnya telah tercemar secara berat.

Idealnya bagi kebutuhan air minum yang pantas, pemurnian lebih lanjut masih perlu dilakukan, baik dengan cara memasak atau dengan penyaringan dengan cara filtrasi pasir yang sederhana.

Biji kelor kering serta bubuk bijinya memiliki daya simpan yang baik. Yang perlu dijaga dan diperhatikan agar pembuatan pasta tidak menjadi basi sebelum digunakan. Jadi harus dibuat segar setiap hari sebelum digunakan.

Pembersihan skala besar
Ada baiknya Indonesia mencontoh apa yang telah dilakukan di daerah Thyolo di bagian selatan Melawi, di mana proyek pembersihan air dalam skala besar telah dibangun dengan menggunakan tepung biji kelor. Tenaga listrik tidak diperlukan untuk operasi pembersihan tersebut.

Pembersihan air dengan bubuk moringa dapat irit biaya. Di Melawi yang setiap tahunnya mengeluarkan sekitar £ 400.000 untuk mengimpor bahan kimia pembersih air dapat secara drastis dipangkas. Dengan teknologi sederhana tersebut hanya perlu biaya sangat minimal, yaitu hanya beberapa fraksi saja dari biaya pembersihan air dengan bahan kimia dan tenaga listrik.

Dalam laporan penelitian tersebut biji-biji moringa ternyata dapat menghasilkan purifikasi air, relatif sama efektifnya bila dilakukan dengan cara pembersihan bahan kimia komersial.

Antara 50 dan 150 mg bubuk biji kelor diperlukan untuk setiap liter air kotor yang ingin dibersihkan. Pengawasan mutu air sangat sederhana hanya diperlukan visual dalam tabung- tabung reaksi kimia.

Kelor di Indonesia
Di Indonesia kelor atau kelor-keloran (Moringa oleifera) dikenal sebagai jenis tanaman sayuran yang sudah dibudidayakan. Daunnya majemuk, menyirip ganda, dan berpinak daun membundar kecil-kecil. Bunganya berwarna putih kekuningan. Buahnya panjang dan bersudut-sudut pada sisinya.

Pohon kelor sering digunakan sebagai pendukung tanaman lada atau sirih. Daun, bunga, dan buah mudanya, merupakan bahan sayuran yang digemari masyarakat setempat.

Daun kelor juga telah banyak digunakan sebagai pakan ternak, terutama sapi dan kambing maupun pupuk hijau. Remasan daunnya dipakai sebagai parem penutup bekas gigitan anjing dan dapat dibalur- kan pada payudara ibu yang menyusui untuk menahan mengucurnya ASI yang berlebihan.

Akar kelor sering digunakan sebagai bumbu campuran untuk merangsang nafsu makan, tetapi bila terlalu banyak dikonsumsi ibu yang sedang mengandung dapat menyebabkan keguguran.

Tumbukan halus akar dapat dibuat bedak untuk tapel perut bayi yang baru lahir, sebagai pencegah iritasi kulit, dan sering digunakan sebagai obat penyakit kulit (kukul) dan bisul, serta parem untuk bengkak-bengkak pada penyakit beri-beri dan bagi pengobatan kaki yang terasa pegal dan lemah.

Ekstrak pepaagaannya secara tradisional banyak digunakan sebagai "jamu" sakit kepala serta untuk merangsang menstruasi. Secara negatif bahkan dapat digunakan untuk menggugurkan kandungan calon bayi yang tidak dikehendaki. Karena tanaman kelor merupakan leguminosa, maka bagus ditanam secara tumpang sari dengan tanaman lain karena dapat menambah unsur nitrogen dan lahan.

Kelor sebagai pangan
Di pasar lokal, komoditas kelor dijual dalam bentuk buah polong segar. Polong biji yang masih hijau dapat dipotong-potong menjadi bagian yang lebih pendek dan dapat dikalengkan atau dibotolkan dalam medium larutan garam dan menjadi komoditas ekspor khususnya ke Eropa dan Amerika Serikat.

Tampaknya bukan hanya di India dan Indonesia saja kelor dapat tumbuh dan berkembang, tetapi juga di berbagai kawasan tropis lainnya di dunia. Pengetahuan tersebut perlu disebarluaskan karena kelor dapat menghasilkan biji-bijian dan daun yang dapat dikonsumsi manusia sebagai sayur. Daunnya berdasarkan berat keringnya mengandung protein sekitar 27 persen dan kaya akan vitamin A dan C, kalsium, besi dan phosphorous.

Salah satu yang sangat menguntungkan adalah daunnya dapat dipanen pada musim kering, di mana tidak lagi dapat dijumpai sayuran segar di sekitarnya. Saat ini semakin berkembang sayuran biji moringa (kelor) di pasar internasional baik dalam kaleng maupun dalam bentuk segar, serta keadaan beku atau "chilled". Sayuran biji yang masih hijau dan segar kini dijual sebagai "drumstick" di berbagai kota besar di Eropa.

Kenya merupakan pemasok utama sayur Moringa dalam kaleng di pasaran dunia. Pada awalnya, India dan Sri Lanka merupakan produsen utama dunia. Kini peluang baru tumbuh di Indonesia, bila kita mau.

Sumber minyak goreng
Biji moringa mengandung 40 persen minyak berdasarkan berat kering. Dari hasil penelitian yang telah dilaporkan, bungkil ampas perasan minyak moringa masih banyak mengandung zat koagulan. Senyawa koagulan masih sangat berguna bagi proses pembersihan air, persis sama seperti yang telah disampaikan sebelumnya dengan efektivitas sama bila digunakan biji utuhnya. Bungkil moringa dapat dikeringkan dan disimpan, merupakan produk samping "industri minyak moringa" yang berguna.

Minyak biji kelor memiliki mutu gizi dan fungsional tinggi, dan memiliki nilai jual (harga) yang tinggi pula. Yang unik dari minyak moringa adalah baik untuk minyak goreng dan baik pula untuk pembuatan sabun.

Bagi masyarakat Malawi, minyak moringa secara tradisional merupakan minyak goreng yang banyak dimanfaatkan di rumah tangga. Minyak biji kelor dapat pula digunakan sebagai bahan kerosin atau minyak untuk lampu teplok pengganti penerangan di daerah yang belum menikmati listrik.

FG Winarno Senior scientist M-Brio Biotekindo, Guru Besar Bioteknologi Unika Atma Jaya
© 2003 Kompas

Berikut proses penjernihan air dengan biji kelor oleh Mbok Dhe Payjem (lihat gambar kartun):

1. Pilih biji kelor yang tua dan kering, kupas, tumbuk dan haluskan. 12 biji kelor untuk 20 liter air.
2. Tambahkan air ½ gelas dan aduklah
3. Masukan campuran tadi kedalam botol
4. Kocok berulang-ulang selama 5 menit
5. Masukan kedalam wadah yang berisi air keruh sambil di saring dengan kain bersih.
6. Aduklah dengan cepat selama +/- 1 menit, aduk lagi pelan-pelan selama 5 menit dengan arah yang berlawanan.
7. Diamkan selama 1 jam. Posisi kran penampung sebaiknya agak keatas untuk mengeluarkan air yang sudah jernih.
8. Air yang sudah jernih jangan langsung diminum, rebuslah dahulu.

sumber: http://o-begitu.blogspot.com

Penjakit Doenia jang Haroes Dibasmi

Pewarta P.P.P.P.A
No.1, tahoen I, 30 December 1932

Kalau didalam kolong doenia ada sematjam jang paling berbahaja, penjakit itoe, adalah “perdagangan perempoean dan anak-anak”.
Kita tidak dapat mengetahoei dengan pasti, sedjak kapan penjakit itoe lahir di doneia. Tetapi kenjataan bahwa penjakit itoe soedah telah laloe; sesoenggoeehpoen demikian, soal perdagangan perempuan dan anak-anak itoe, baroelah moelai tahoen 1879 mendapat perhatian orang disebelah barat, moela-moela dari tanah inggris, kemudian lantas mendjalar kesana-kesini, dan achirnja lantas mendjadi soal internationaal.
Berapa poeloeh djoeta gadis-gadis jang soetji telah mendjadi koerbannja kedjahatan doenia ini, saja rasa hanja Allah sadja jang tahoe, hanya jang bisa ditoetoerkan, pada 28 tahoen jang telah laloe, Toehan R.Paulucci de Calboli di Nuova Antologia, mentjatat, bahwa Genua (italie) ada mendjadi salah satoe pelaboehan perdagangan perempoean dan anak-anak, gadis-gadis dari Oostenrijk, Djerman, Pollen dan lain-lain, tiap-tiap tahoen jang dibawa masoek ke pelaboehanitoe koerang lebih ada 1200 orang. Lebih djaoeh ia poen menoetoerkan djoega bahwa perdagangan perempoean di Africa, madjoe sekali…
Amarika, sebagai negeri jang sangat modern, dan negeri jang sangat madjoe poen tidak maoe ketinggalan tentang kemadjoeannja dalam hal ini. Dalam tahoen 1885, soerat kabar Philadelphia Times menjatakan bahwa djoemlahnja gadis-gadis jang tjantik-tjantik dari Italie jang dijadikan barang dagangan di Amerika koerang lebih ada 80.000 orang.
Betapa nasib jang didapat oleh merika itoe, saja tidak dapat menggambarkan dengan toelisan, tjoekoeplah dipikirkan, bahwa merika itoe jang moela-moelanja salah seorang dari poeteri doenia jang dilahirkan dalam keadaan serba soetjie, oleh kekedjaman , oleh kenapsoean, binatang, oleh kenapsoean tamak telah diroesak lahir batinnja………
Tjoekoplah kiranya kalau orang membajangkan, bahwa merika itoe boekan lagi dipandang sebagai manoesia, tetapi lebih rendah dari binatang; merika itu diberi pakaian jang baik, diberi perhiasan jang indah, boekannja lantaran ketjintaan “eigenaarnja”, tetapi lantaran ia ada satoe alat penarik oeang; kalau kekoetannja penarik oeang soedah sedikit toea, atau lantaran terserang penjakit , sebagai barang jang soedah tida berharga, merika itoe di djoeal obral, dengan harga toeroen, begitoelah seteroesnya, sampai mereka itoe sampai pada adjalnja dalam keadaan jang memiloekan hati…………
Berhoeboeng dengan verdrag Internationaal 1907, maka moelai tahoen 1915 pemerintah Hindia Belanda poen moelai toeroet djoega ambil bagian, mendirikan bureau jang kehendaknja akan memeranginja perdagangan perempoean dan anak-anak itoe. Verslag pertama jang dikeloearkan dalam tahoen 1923, menjatakan bahwa hakin telah memoetoes perkara perdagangan perempoean sama sekali ada 171; orang perempoean jang masoek disini, ada 215 orang, diantaranja ada 27 orang jang ternjata mendjadi dagangan, dan lantaran ini, merika itoe lantas dikirim kembali ke masing-masing negerinja. Dalam tahoen 1929 ada perempoean asing 542 jang hidoepnja mendjadi penilikannja bureau terseboet diatas.
Berapa kaoem Iboe bangsa Indonesia jang telah mendjadi koerban dari saudagar perempoean?
Kalau kita soeka mengingati keroesakan masarakat sekarang……
Kalau kita soeka mengingati betapa kebodohan bangsa kita sekarang……
Kalau kita soeka mengingati betapa kedjam, ganas dan tjerdiknja saudagar-saudagar perempoean dan anak-anak…….

Diambil dari sumber: Pewarta PPPPA 1932
Media milik dari Ki Hajar Dewantara ini diterbitkan khusus untuk mengkampanyekan bahaya perdagangan perempuan dan anak pada saat itu.

Minggu, 08 Agustus 2010

Menaker: Orang Tua Yang Pekerjakan Anak Bisa Dipidana

TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyatakan orang tua yang mempekerjakan anak bisa diancam hukuman penjara. "Saya sekarang menyatakan warning kepada perusahaan dan orang tua yang memperkerjakan anak," kata Mehaimin usai memberi sambutan pada Hari Dunia Menentang Pekerja Anak di Hotel Borobudur, Senin (5/7)

Para pelanggar bisa dijerat Undang-undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) dan UU tentang Ratifikasi Konvensi ILO pada Pekerjaan terburuk untuk anak (UU No.20 Tahun 1999 dan UU No 1. Tahun 2000) atau UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga. "Itu warning, kami peringatkan sekali, lalu ditindak sesuai hukum," kata Muhaimin.

Pemerintah kini berada dalam kurun pertama Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang dibagi dalam 3 tahapan dalam 20 tahun. TDiantaranya, sosiali sasi bentuk-bentuk terburuk pekerja anak. Hasil sosialiasi terlihat dengan dibentuknya Komite Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di 29 propinsi Dan 130 kabupaten dan kota.

Perwakilan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) di Jakarta Peter Van Rooij menyatakan, meski banyak kemajuan, jumlah pekerja anak masih signifikan. Survei Badan Pusat Statistik pada Agustus 2009 menyatakan masih ada sekitar 4 juta anak usai 5-17 tahun yang secara ekonomi aktif, dan 1,7 anak-anak ini masuk dalam kategori pekerja anak.

Tapi, Peter menambahkan, ILO mengakui kepedulian pemerintah sudah jauh lebih baik ketimbang sepuluh tahun silam. "Terobosan pengurangan pekerja anak dengan program bantuan bersyarat adalah satu kemajuan penting," jelasnya. Bantuan tunai bersyarat atau Program Keluarga Harapan diintegrasikan dengan program pengurangan pekerja anak. Program ini masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.

Kamis, 15 Juli 2010

Tolak Penetapan Hasil Seleksi Calon Anggota KPAI 2010-2013

Dinilai Cacat Hukum dan Banyak Kejanggalan:
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Anak Tolak Penetapan Hasil Seleksi Calon Anggota KPAI 2010-2013

Jakarta – Siaran Pers

Kami, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Anak diwakili oleh Prof. Irwanto, Ph.D yang didamping oleh beberapa angota lainnya menyatakan sikap menolak penetapan hasil seleksi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menetapkan 18 orang nama-nama yang lolos dalam panitia seleksi yang diumumkan Jumat (8/07/2010) pekan lalu.
Penolakan ini didasarkan banyaknya temuan berupa kejanggalan dan cacat hukum selama proses seleksi dan penetapan, antara lain:

1. Kami menemukan nama-nama yang masih aktif sebagai pengurus KPAI, termasuk Ketua yang tidak melepaskan jabatan ketika dilakukan seleksi.
2. Pengurus lama yang mendaftar sebagai Calon anggota KPAI tahun 2010-2013 diduga adalah pihak-pihak yang juga ikut menentukan anggota panitia seleksi.
3. Ada anggota panitia seleksi yang berasal dari staf Ahli KPAI yang masih di lingkungan internal KPAI sehingga sangat diragukan independensinya.
4. Jika ditinjau nama-nama yang lolos dalam seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi, banyak anggota terpilih yang diragukan rekam jejaknya dalam bidang perlindungan anak di Indonesia.
5. Patut diperiksa ulang, sejauh mana anggota terpilih mempunyai unsur-unsur dalam latar belakang mereka (misalnya unsur Orsos) yang sama
6. Karena keanggotaan KPAI diwakili oleh unsur-unsur dalam masyarakat, maka perlu diperiksa ulang sejauh mana terjadi pergeseran unsur dalam hasil akhir pemilihan.

Seperti dikabarkan sebelumnya, KPAI telah melakukan uji publik yang diumumkan di harian nasional dan TV Swasta. Namun hingga saat ini hasilnya belum dikomunikasikan secara transparan. Jika dilihat dari hasil seleksi yang baru saja diumumkan, maka tidak dapat dipungkiri adanya kesan bahwa “uji publik” tersebut dilakukan hanya sebagai upaya formalitas yang hasilnya sebenarnya telah ditentukan terlebih dahulu (pre-contemplated), sehingga calon-calon yang secara publik dikenal sebagai aktivis hak-hak anak justru tidak terpilih. Seharusnya, misalnya, ada berita acara mengenai bagaimana nilai ujian pengetahuan dan uji publik digunakan dalam menentukan pemilihan dan hasil akhir.
Untuk menghindari kesan bahwa dalam seleksi telah terjadi konspirasi dan penjegalan terhadap orang-orang yang berkompeten, berpengalaman (mempunyai rekam jejak yang jalas) dan berkomitmen tinggi dalam perlindungan anak di negeri tercinta ini, proses seleksi dan mekanisme perlu direview ulang. Dengan demikian, KPAI sebagai sebuah lembaga negara berbasis HAM yang independen melakukan tugasnya secara transparan, fair, dan bertanggung-jawab/akuntabel.

KPAI yang berdiri tegak, professional, dan fair adalah kepentingan semua orang yang peduli terhadap perlindungan anak. Oleh karena itu, kami menghimbau semua pihak mendukung upaya penyelamatan masa depan KPAI.
Kami meminta dengan hormat kepada DPR RI untuk tidak melakukan fit and proper test terhadap nama-nama yang ditetapkan oleh panitia seleksi sebelum memeriksa ulang proses dan mekanisme seleksi. Kami juga memohon kepada Presiden RI Bapak Dr. Susilo Bambang Yodhoyono untuk melakukan penetapan ulang panitia seleksi yang lebih kredibel, professional dan mempunyai keahlian dalam melakukan seleksi terhadap anggota KPAI Periode 2010-2013.
Informasi lebih lanjut silahkan hubungi Prof. Irwanto (Hp 08129310764) atau Ahmad Sofian (hp. 0818650280)
Jakarta, 14 Juli 2010

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Anak

1. 1. Prof Irwanto, Ph.D (Presiden ECPAT Affiliate Group Indonesia)
2. Drs. A. Taufan Damanik, MA (Anggota ACWC, Working group for CRC, Ketua Yayasan KKSP)
3. Mohammad Farid (mantan anggota KOMNAS HAM dan pengamat masalah anak)
4. Edy Ikhsan, SH. MA (Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia)
5. Ahmad Sofian, SH.MA (Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak/PKPA Medan)
6. Achmad Marzuki (Direktur JARAK Indonesia)
7. Odi Salahuddin (Direktur Yayasan SAMIN Yogyakarta)
8. Majda El Muhtaj (Kepala Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan)
9. Gefarina Djohan (staf pengajar UIN)
10. Siti Hajar (Pengurus LPA Lampung)
11. Priyono Adi Nugroho (Sekretaris LPA Jawa Timur)
12. Maria Yohanista Erowati (IMADEI)
13. Anna Sulikha (Yayasan Bandungwangi)
14. Herman Mustamin (ERKA)
15. Maria C.Bastiani (BMS Sejati)
16. Dede Suhendri (Yayasan LADA Lampung)
17. Tabrani Yunis (CCDE Aceh)
18. Hening Budiyawati (Koordinator Yayasarn Setara Semarang)
19. Zainul Abidin (Direktur Yayasan SARI Solo)
20. Fathuddin Muchtar (Mahasiswa dan Aktivis Hak Anak)
21. Tamami Zein (Yayasan Bahtera Bandung)
22. Nasruddin (Yayasan Dinamika Indonesia, Bekasi)
23. Gunardi (Yayasan Alit Surabaya)
24. Arifin Alapan (YSSN Pontianak)
25. Hari Wibowo (Human Rights Defender, Jakarta)
26. Dian (Yayasan SANTAI Mataram)
27. Irwan Setiawan (Yayasan Setara Kita Batam)
28. Rian Dewi Lestari (Yayasan KASEH PUAN Tj Balai Karimun)
29. Rohman (peneliti masalah anak, Blitar, Jawa Timur)
30. Wisnu Prasadja (Yayasan Kusuma Buana Jakarta)
31. Fatah Muria (Direktur Perisai Semarang)
32. Andi Akbar (LAHA – Bandung)
33. Fadhillah Wilmot, s.pd.I (Direktur YPMG Aceh)
34. Distia Aviandari (Direktur LAHA Bandung)
35. Susilo Adinegoro (Sanggar Akar)
36. Antarini Arna, SH.LLM (Ketua Yayasan Pemantau Hak Anak Jakarta)
37. Aida Milasari (Direktur Gema Rumpun Perempuan Jakarta
38. Anwar Solichin (Ketua Yayasan LPKP Malang)
39. Soni F Tios (Yayasan PEKA Manado)
40. Aye Sudarto (LAMBANG Lampung)
41. Nur Azizah (Yayasan Anak dan Perempuan)
42. Heny Yusriana (Yayasan Pelita Ilmu Jakarta)
43. Mashudi (APPSI Jakarta)
44. Damairia Pakpahan (Perkumpulan Rumpun, Yogyakarta)
45. Edy sunarwan (pemerhati masalah pekerja anak di Sumatera Utara).
46. Misran Lubis (Aktivis Anak PKPA Medan)

Rabu, 07 Juli 2010

Mungkin berita ini terasa usang, namun jangan alihkan dulu pandangan kita, coba baca didalamnya, ada hal yang cukup penting dan pantas untuk disajikan kembali sebagai pengingat kita yang selama ini masih bekerja atau peduli dengan permasalahan anak.
Tulisan ini diambil dari http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4582.

Oleh karena itu, kami hanya ingin mengucapkan selamat membaca dan resapi, lalu mari bergerak bersama (tentunya juga dengan anak-anak) untuk memperjuangkannya.


IRWANTO ARUSUTAMAKAN HAK ANAK
Sabtu, 2 Agustus 2008 | 00:58 WIB

Jakarta, Kompas - Disaksikan lebih dari 100 hadirin, Jumat (1/8), Irwanto PhD dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Atma Jaya, Jakarta. Suatu pencapaian luar biasa mengingat jalan panjang yang dilewatinya: kelumpuhan pada lebih dari separuh tubuh yang membatasi ruang geraknya sejak 2003 akibat kesalahan medis.

Irwanto adalah ikon. ”Ia berhasil mengubah malapetaka menjadi peluru semangat untuk berjuang, untuk merebut kembali setiap peluang yang ada,” kata Rektor Universitas Atma Jaya Prof Dr FG Winarno.

Seusai membacakan pidato ilmiahnya yang berjudul ”Mengarusutamakan Hak-hak Anak dalam Pembangunan Nasional: Perspektif Ekologi Perilaku Manusia”, Irwanto mendapat tepukan tangan panjang. Di antara yang hadir tampak Ny Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Saparinah Sadli, dan Melly G Tan.

Dilahirkan di Purwodadi, Jawa Tengah, 28 Februari 1957, minat Irwanto pada persoalan anak sudah muncul sejak kuliah di psikologi Universitas Gadjah Mada. Ketika mendapat beasiswa Fullbright untuk S-3, minat ini ia perdalam di Jurusan Studi-studi Keluarga dan Perkembangan Anak Universitas Purdue di West Lafayette, Indiana, Amerika Serikat.

Paradoks anak

Menurut Irwanto, pembangunan manusia modern memunculkan paradoks tentang anak: mereka diakui sebagai masa depan kemanusiaan, tetapi sekaligus menjadi kelompok penduduk paling rentan karena sering diabaikan dan dikorbankan dalam proses pembangunan.

Ambruknya infrastruktur pembangunan karena krisis moneter, sosial, dan politik 1997/1998, serta terserapnya dana pembangunan untuk membayar utang, mengatasi dampak konflik dan bencana alam, membuat pembangunan sumber daya manusia di Indonesia terabaikan. Indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia 2008 di peringkat 108, lebih rendah dari Vietnam yang di 105.

Rinciannya, antara lain, angka kematian bayi 34-111 anak per 1.000 kelahiran hidup, gizi buruk pada anak usia balita 13,34 persen, dan rendahnya angka partisipasi sekolah (93,54 persen di tingkat SD, 66,52 persen di SMP, 43,77 persen di SMA, dan 8,87 persen di perguruan tinggi).

Di bidang hukum, anak-anak Indonesia menjadi korban produk hukum yang korup dan mekanisme hukum yang tidak efektif. Diperkirakan lebih dari 40 persen bayi baru lahir tidak mempunyai akta kelahiran. ”Anak-anak kita juga harus menerima kenyataan bahwa pada usia delapan tahun, ia dapat dihukum kurungan jika melawan hukum dan dengan proses peradilan yang lama, 6,5 bulan,” ujar Irwanto, ayah Astrid (21) dan Indy (16).

Untuk mengatasinya, Irwanto mengingatkan pentingnya mempertimbangkan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai dasar kebijakan pembangunan di Indonesia. ”Pengarusutamaan KHA dimaksudkan untuk memperkuat peran dan tanggung jawab negara. Kualitas hidup anak tidak dapat diserahkan kepada orangtua dan komunitasnya saja karena negara juga berkepentingan memiliki generasi penerus berkualitas,” katanya. (nes/mh).

published by:damaj/m&pr

Senin, 21 Juni 2010

Anak Putus Sekolah di Papua : Buramnya Pendidikan Setengah Hati

Written by Administrator
Thursday, 13 August 2009


JUBI — Seperti kemiskinan yang mencapai 760 ribu, anak putus sekolah di Papua bertengger pula pada angka ribuan. Cerminan dari pemberian pendidikan setengah hati.

Secara nasional, jumlah siswa sekolah dasar (SD) yang terpaksa berhenti sekolah atau drop out (DO) menunjukkan angka ribuan. Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) mencatat, setiap harinya ada 2.000 anak SD yang DO. Data resmi dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 Provinsi pada 2007, bahkan mencatat, jumlah anak putus sekolah mencapai 11,7 juta jiwa. Naik dari 2006 sebesar 9,7 juta anak. Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kala itu, kasus putus sekolah yang paling menonjol terjadi di tingkat SMP, 48 %. Sedangkan SD 23 % dan SMA 29 %. Akumulasinya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tak kurang dari 8 juta jiwa. ‘’Angka putus sekolah ini cukup tinggi karena banyak anak di Indonesia dijadikan sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga. Mereka datang dari keluarga miskin,’’ kata Meena Kumari Adnani, Managing Director YCAB. Ia juga memaparkan, sembilan juta anak dalam kelompok usia 5-14 tahun terdata sebagai pekerja anak. Sejak 1999, ditemukan juga 17 juta anak di atas usia 10 tahun masih buta huruf.
Di Papua, terjadi di Merauke. Vincent Mekiuw, Kepala Dinas Pendidikan Dasar membenarkannya. “Saya jujur saja, ada peningkatan jumlah anak putus sekolah yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Dimana anak ikut terlibat untuk memenuhi ekonomi keluarga sehingga kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan tidak ada,” ujarnya kepada JUBI belum lama ini.
Seperti Mekiuw, Unifah Rohsidih, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Juni kemarin, dari hasil studi di empat wilayah termasuk Papua Barat, mengatakan, anak-anak usia 9-15 tahun terlibat berbagai jenis pekerjaan yang berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, mental, dan seksual. Unifah mengatakan, awalnya pekerja anak tersebut hanya membantu perekonomian orang tua, tetapi lama kelamaan terjebak sebagai pekerja permanen. “Mereka akhirnya menikmati hasil pendapatan dan berakibat lebih sering bolos sekolah dan kemudian drop out,” ungkapnya.Penelitian tersebut merupakan hasil kerja sama dengan InternationalLabour Organization (ILO).
Temuan selanjutnya, anak bekerja dalam berbagai pekerjaan mulai dari pemulung, penjual koran, petugas parkir liar, pemilah sampah TPA, buruh petani dan perkebunan, pengemis, pembantu rumah tangga, pelayan toko dan restoran, pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, penjual platik di pasar, kuli angkut, penyelam mutiara dan ikan teripang di laut tanpa peralatan, kernet, nelayan, buruh bangunan, penjual sayur, dan menyemir. “Lama kerja anak-anak bervariasi antara empat sampai sembilan jam. Pagi hari kerja pukul 6.00-11.00 . Siang mereka sekolah. Sore hari kerja jam 16.00-19.00 . Pendapatan bervariasi antara Rp 7 ribu sampai Rp 20 ribu perhari, atau antara Rp 35 ribu sampai Rp 100 ribu per minggu,” ujarnya.
Di Jayapura, sejumlah anak putus sekolah lebih banyak tidak memperoleh bimbingan dari orang tua. Mereka dekat dengan minuman keras. Marthen Dou warga Dok V, mengatakan, “baik karena orang tua cerai atau karena sibuk kerja dan tidak ada lagi waktu untuk memperhatikan anak-anak mereka”. Akibatnya kata Douw mereka berkeliaran di kota Jayapura dan sudah mengenal miras serta mencium Aibon (Lem yang dapat memberi pengaruh mabuk). “Mereka bisa dipanggil anak anak aibon,” kata Douw. Rombongan mereka semakin besar dengan banyak pula saudaranya yang datang dari Nabire.
Masalah ekonomi memang menjadi pendorong tak tertanganinya kasus-kasus putus sekolah. Diluar itu, ada juga kendala teknis yang bersifat mikro yang menjadi penyebab terhentinya anak bersekolah. Lokasi yang jauh, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan kerap menjadi penyebab anak enggan berangkat hingga akhirnya DO.
Di wilayah yang secara geografis sangat luas dan aksesnya terbatas, untuk mencapai sekolah yang berjarak puluhan kilometer tentu bukan perkara mudah. Misalnya Papua yang memiliki luas kabupaten dan kota rata-rata ribuan hingga puluhan ribu kilometer persegi. Selain sangat luas, jumlah sekolahpun terbatas. Dampaknya, persebaran tidak merata. “Kasus putus sekolah anak di tanah Papua, merupakan sebuah fenomena yang seharusnya tidak perlu terjadi jika saja pemerintah dengan cermat melihat bahwa pendidikan adalah kebutuhan mendesak untuk masa depan dan sebagai Hak asasi manusia,” kata Octovianus Takimai, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Bandung.
Yayasan Pemuda Insos Kabor Biak, YAPIKBI, berpendapat beda. Dalam laporannya di situs YAPIKBI, pendidikan di Papua tidak pernah diprioritaskan. YAPIKBI, dengan direkturnya Agust Rumbiak menilai, Papua sudah sangat lama menjadi provinsi. Namun selalu terbelakang. Tingkat SDMnya juga sangat rendah. Padahal daerah ini memiliki kekayaan yang luar biasa. “Kwalitas pendidikan di Papua sangat rendah, ini terjadi pula di Biak”. “Tingkat pengetahuan anak yang menyelesaikan SD dan SLTP sangat rendah. Karena orang-tua tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan,” demikian disebutkan.
Ternyata masalah anak putus sekolah di Papua tidak hanya terjadi di wilayah pesisir. Di pegunungan, dari hasil survey World Vision Indonesia (WVI), 2007, disebutkan anak SD DO mencapai 40 %. “Mutu pendidikan Jayawijaya harus ada peningkatan, survey kami hanya 78 persen siswa yang berpartisipasi di tingkat SMP,” kata staf Departemen Komunikasi WVI, Enda Balina.
Di Papua Barat, jumlah anak DO berjalan lurus dengan kemiskinan yang mendera warganya. Fakta menunjukkan, provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Pada tahun 2007, Papua Barat termasuk dalam lima provinsi yang memiliki nilai produk domestik regional bruto (PDRB) terendah di antara 28 provinsi lain. Kecuali Maluku yang mencatat 1,45 %. Putus SD di wilayah ini, termasuk Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Gorontalo, mencapai 3-5 %. Di tingkat SMP, angkanya lebih tinggi lagi, 2-7 %. Kekurang berdayaan secara ekonomi jelas mempengaruhi kelangsungan pendidikan di wilayah dengan Ibukota Manokwari itu. Dengan pendapatan per kapita per tahun Rp 3 juta hingga Rp 5 juta, bersama dengan tiga wilayah lainnya, total anak putus SMP, hampir mencapai 10.000. Sementara lebih dari 31.000 siswa SD juga mengalami putus sekolah.
Ketua Dewan Pembina Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kabupaten Keerom, Papua, Fransiska Ni Made Santun Watae, dalam acara penyerahan sertifikat kepada 114 anak putus SD beberapa waktu lalu, mengatakan, Dinas Pendidikan dan Pengajaran selayaknya harus memperhatikan anak putus sekolah tersebut.
Pernyataan Ni Made sepertinya dibuktikan. Sekjen Depdiknas Dodi Nandika, mengatakan, tahun ini Depdiknas menaikkan bantuan siswa miskin di semua level pendidikan. Bantuan itu, kata Dodi, langsung diberikan kepada siswa. Bantuan akan dimanfaatkan untuk keperluan pribadi siswa. Seperti, membeli seragam, buku tulis, maupun transport. Diharapkan bantuan ini dapat mengurangi angka putus sekolah secara bertahap. “Sehingga, akhirnya tak ada lagi anak putus sekolah,” ujarnya.
Angka putus sekolah usia 7-13 tahun mencapai 841 ribu dari total 28,1 juta siswa SD. Total dana yang dialokasikan Depdiknas sebesar Rp 3 triliun. Sementara anak usia SMP yang tidak dapat mengakses pendidikan sekitar 211.643 orang.
Untuk jenjang SD, jumlah penerima bantuan bertambah menjadi 2,2 juta dari sebelumnya 690 ribu anak. Demikian pula dengan SMP. Jumlah penerimanya tahun ini sebanyak 998 ribu anak dengan nominal bantuan Rp 48 ribu per bulan. Tahun sebelumnya, bantuan diterima sekitar 499 ribu anak.
Di jenjang SMA, beasiswa miskin diberikan untuk 310 ribu anak. Total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 242 miliar per tahun. Sementara untuk siswa SMK, bantuan diberikan untuk sekitar 928.539 siswa. Lebih banyak dibandingkan tahun lalu yang jumlahnya sekitar 700.000 siswa. Bantuan yang diterima siswa per tahun mencapai Rp 780 ribu. Anggaran yang dialokasikan cukup besar mencapai Rp 724 miliar. Bantuan ini lepas dari sumbangan warga Indonesia dan Belgia sebesar 7.000 euro untuk membantu anak putus sekolah di Indonesia. Termasuk Papua. (JUBI/Dominggus A Mampioper/JR)

Rabu, 16 Juni 2010

Pekerja Anak di NTT 23.103 Orang

Media Indonesia. Sabtu, 05 Juni 2010 13:39 WIB
Penulis : Palce Amalo


KUPANG--MI: Sebanyak 23.103 anak di bawah usia 15 tahun di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja membantu orang tua mereka.

Munculnya pekerja anak disebabkan kemiskinan yang melilit masyarakat daerah itu sehingga memaksa anak-anak memilih tidak bersekolah dan terjun ke dunia kerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari kantong-kantong kemiskinan di pedesaan seperti di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara.

"Pekerja anak tertekan secara fisik dan mental sehingga membahayakan masa depan mereka," kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT Mien Noach di Kupang, Sabtu (5/6).

Dari jumlah itu, sebanyak 15.333 di antara mereka terdiri dari anak perempuan yang juga
rentan terhadap kekerasan seksual. Jumlah itu juga belum termasuk catatan LPA NTT yang menyebutkan 1.335 anak bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK).

Pekerja anak umumnya ditemukan di jalan-jalan di Kota Kupang, pelabuhan, terminal, dan pasar tradisional. Mereka bekerja sebagai penjual koran, jagung bakar, tas plastik, kue, dan penjual asesoris. Sejumlah anak juga ditemukan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pramuniaga, dan pelayan di warung makan.

Menurut Mia, dari puluhan ribu pekerja anak tersebut 18,91% di antaranya tidak pernah mengenyam bangku sekolah, 40,42% tidak tamat Sekolah Dasar (SD), dan 39,295 tamat SD. Hanya 1,35% yang menamatkan pendidikan SMP. (PO/OL-01)

Jumat, 04 Juni 2010

Perlindungan anak

Sejarah perlindungan anak di Indonesia yang dalam sistem ketatanegaraan dimulai pada tahun 1958, dimana pada saat itu Kamsinah Wirjowratmoko dari Partai Nasional Indonesia (PNI) melontarkan gagasan bahwa hak anak perlu dilindungi sudah dimasukkan kedalam kelompok hak asasi yang disepakati bersama, karena Indonesia menghadapi masalah besar anak-anak yang terlantar dan berperilaku menyimpang dan demoralisasi yang terjadi dikalangan muda. Lebih lanjut Ia menyatakan bahwa mengacu di dalam deklarasi Hak-hak Anak yang dinyatakan dalam konferensi internasional Persatuan Kesejahteraan Anak di Jenewa pada tahun 1923, yang diperbarui pada tahun 1948, maka saat itu PNI mengusulkan tujuh poin mengenai hak anak dimasukkan di dalam Undang-undang baru . Hal sama juga disampaikan oleh Setiati Surasto dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menganjurkan agar hak anak dimasukkan dalam Undang-undang dasar baru supaya mendapat perlindungan.

Awasi peningkatan anak-anak yang dipekerjakan

Solo. Sebentar lagi merupakan hari libur panjang bagi anak-anak sekolah. Berbagai keinginan mulai dipikirkan, bahkan ada juga yang sudah tertulis didalam agenda mereka. liburan panjang, adalah liburan yang akan digunakan untuk melepaskan sejenak dari semua aktifitas sekolah, yang diisi dengan kegiatan mulai dari rekreasi hingga berkunjung ke rumah kerabat.

Di sisi lain, ada anak yang justru mengisi kegiatan mereka dengan membantu orang tua di rumah. Bagi kalangan keluarga miskin, sangat mewah rasanya untuk memikirkan rencana kegiatan rekreasi, yang ada justru berada di rumah atau bahkan bekerja. Bagi anak-anak dari keluarga miskin, bekerja adalah sesuatu yang dianggap hal biasa, dimana anak bisa membantu orang tua dalam menambah kebutuhan hidup keluarga.

Lihat saja dilingkungan sekitar kita, banyaknya anak-anak yang mau menjadi tenaga kerja, terutama disektor home industri akan selalu disambut baik. Dengan berbagai banyak alasan, seperti membantu atau mendidik anak untuk bertanggung jawab menjadikan para pengusaha tersebut memperoleh pembenarannya. Akan tetapi dari berbagai penelitian yang banyak dilakukan, justru para pengusaha yang mau menerima anak-anak ini agar bisa membayar lebih murah.

Justru yang menjadi persoalan adalah, lemahnya pengawasan yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah, terutama petugas pengawas tenaga kerja yang terasa "tumpul" dalam menjalankan tugasnya. Dari pengalaman penulis ketika bertemu dengan para pengawas tenaga kerja didaerah, rata-rata mereka memiliki alasan bahwa tidak ada pendananaan yang sering dijadikan pembenar tindakannya tersebut. Selain itu, banyak Dinastenagakerja yang ada di daerah yang masih belum memiliki data sama sekali menyangkut soal pekerja anak.

Sebagai warga yang peduli terhadap situasi anak, penulis berkeinginan, agar situasi seperti ini harus segera diakhiri. tentunya dengan keterlibatan banyak pihak, setidak-tidaknya bisa mengurangi hal ini.

Selasa, 01 Juni 2010

cinta

Sebut saja IW (bukan nama sebenarnya), usia 14 tahun. Sudah 5 tahun Ia bekerja, disalah satu home industri konveksi di Solo. Sudah 4 tahun Ia tidak sekolah lagi, dikarenakan sudah tidak ada yang sanggup membiayai kebutuhan sekolahnya. Meski Ia masih bercita-cita ingin melanjutkan sekolahnya, akan tetapi keinginan itu Ia kubur dalam-dalam, sebab biaya sekolah yang begitu tinggi, tidak mungkin akan bisa terbayarkan. Apalagi sebagai anak yang tertua dari tiga bersaudara, sangatlah tidak mungkin bagi IW untuk terlalu berharap banyak pada orang tuanya untuk melanjutkan sekolahnya. Sebab ayah IW yang berprofesi sebagai supir becak, dan ibunya sebagai kuli panggul di pasar tentunya sangat sedikit sekali penghasilannya. terkadang upah dari hasil kerja orang tuanya, masih jauh dari mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

Oleh karena itu, untuk membantu kebutuhan sehari-hari, IW terpaksa harus bekerja. Proses mencari pekerjaan inipun bagi IW bukanlah perkara mudah. Selain dibutuhkan ketrampilan yang memadai, juga perlu adanya koneksi, yang bisa meyakinkan si pemilik usaha percaya dan mau merekrutnya sebagai buruhnya. Selama ini, ketrampilan yang dimiliki IW hanyalah menjahit, yang dia peroleh sewaktu kursus di tetangganya.

Sehari-hari IW harus berangkat kerja mulai pukul 06.00, dengan berjalan kaki dari rumahnya menuju jalan raya, yang berjarak sekitar 500 meter. Setelah itu, Ia harus naik angkutan umum. IW berusaha untuk berangkat lebih pagi, agar sampai ditempat kerjanya tepat waktu. ditempat kerjanya ini, hingga sampai saat ini, IW mendapat jatah untuk memasang kancing baju. Selama bekerja di konveksi, Ia menerima upah mingguan sebesar Rp.60.000. Tentu uang sebesar itu jauh dari mencukupi. Akan tetapi tekat IW bekerja adalah bagaimana Ia bisa membantu untuk meringankan beban orang tuanya.

Keterpaksaan anak-anak bekerja, sebagaimana yang dialami oleh IW bukanlah hal yang luar biasa, sebab masih banyak anak-anak di pedesaan ataupun di perkotaan yang mengalami nasib yang sama, atau bahkan lebih tragis dari itu.

yang patut menjadi pertanyaan adalah, haruskah ana-anak tersebut bekerja dianggap sebagai kewajaran atau sesuatu yang harus disikapi? lalu sikap seperti apa yang harus dilakukan?