Senin, 21 Juni 2010

Anak Putus Sekolah di Papua : Buramnya Pendidikan Setengah Hati

Written by Administrator
Thursday, 13 August 2009


JUBI — Seperti kemiskinan yang mencapai 760 ribu, anak putus sekolah di Papua bertengger pula pada angka ribuan. Cerminan dari pemberian pendidikan setengah hati.

Secara nasional, jumlah siswa sekolah dasar (SD) yang terpaksa berhenti sekolah atau drop out (DO) menunjukkan angka ribuan. Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) mencatat, setiap harinya ada 2.000 anak SD yang DO. Data resmi dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 Provinsi pada 2007, bahkan mencatat, jumlah anak putus sekolah mencapai 11,7 juta jiwa. Naik dari 2006 sebesar 9,7 juta anak. Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kala itu, kasus putus sekolah yang paling menonjol terjadi di tingkat SMP, 48 %. Sedangkan SD 23 % dan SMA 29 %. Akumulasinya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tak kurang dari 8 juta jiwa. ‘’Angka putus sekolah ini cukup tinggi karena banyak anak di Indonesia dijadikan sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga. Mereka datang dari keluarga miskin,’’ kata Meena Kumari Adnani, Managing Director YCAB. Ia juga memaparkan, sembilan juta anak dalam kelompok usia 5-14 tahun terdata sebagai pekerja anak. Sejak 1999, ditemukan juga 17 juta anak di atas usia 10 tahun masih buta huruf.
Di Papua, terjadi di Merauke. Vincent Mekiuw, Kepala Dinas Pendidikan Dasar membenarkannya. “Saya jujur saja, ada peningkatan jumlah anak putus sekolah yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Dimana anak ikut terlibat untuk memenuhi ekonomi keluarga sehingga kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan tidak ada,” ujarnya kepada JUBI belum lama ini.
Seperti Mekiuw, Unifah Rohsidih, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Juni kemarin, dari hasil studi di empat wilayah termasuk Papua Barat, mengatakan, anak-anak usia 9-15 tahun terlibat berbagai jenis pekerjaan yang berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, mental, dan seksual. Unifah mengatakan, awalnya pekerja anak tersebut hanya membantu perekonomian orang tua, tetapi lama kelamaan terjebak sebagai pekerja permanen. “Mereka akhirnya menikmati hasil pendapatan dan berakibat lebih sering bolos sekolah dan kemudian drop out,” ungkapnya.Penelitian tersebut merupakan hasil kerja sama dengan InternationalLabour Organization (ILO).
Temuan selanjutnya, anak bekerja dalam berbagai pekerjaan mulai dari pemulung, penjual koran, petugas parkir liar, pemilah sampah TPA, buruh petani dan perkebunan, pengemis, pembantu rumah tangga, pelayan toko dan restoran, pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, penjual platik di pasar, kuli angkut, penyelam mutiara dan ikan teripang di laut tanpa peralatan, kernet, nelayan, buruh bangunan, penjual sayur, dan menyemir. “Lama kerja anak-anak bervariasi antara empat sampai sembilan jam. Pagi hari kerja pukul 6.00-11.00 . Siang mereka sekolah. Sore hari kerja jam 16.00-19.00 . Pendapatan bervariasi antara Rp 7 ribu sampai Rp 20 ribu perhari, atau antara Rp 35 ribu sampai Rp 100 ribu per minggu,” ujarnya.
Di Jayapura, sejumlah anak putus sekolah lebih banyak tidak memperoleh bimbingan dari orang tua. Mereka dekat dengan minuman keras. Marthen Dou warga Dok V, mengatakan, “baik karena orang tua cerai atau karena sibuk kerja dan tidak ada lagi waktu untuk memperhatikan anak-anak mereka”. Akibatnya kata Douw mereka berkeliaran di kota Jayapura dan sudah mengenal miras serta mencium Aibon (Lem yang dapat memberi pengaruh mabuk). “Mereka bisa dipanggil anak anak aibon,” kata Douw. Rombongan mereka semakin besar dengan banyak pula saudaranya yang datang dari Nabire.
Masalah ekonomi memang menjadi pendorong tak tertanganinya kasus-kasus putus sekolah. Diluar itu, ada juga kendala teknis yang bersifat mikro yang menjadi penyebab terhentinya anak bersekolah. Lokasi yang jauh, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan kerap menjadi penyebab anak enggan berangkat hingga akhirnya DO.
Di wilayah yang secara geografis sangat luas dan aksesnya terbatas, untuk mencapai sekolah yang berjarak puluhan kilometer tentu bukan perkara mudah. Misalnya Papua yang memiliki luas kabupaten dan kota rata-rata ribuan hingga puluhan ribu kilometer persegi. Selain sangat luas, jumlah sekolahpun terbatas. Dampaknya, persebaran tidak merata. “Kasus putus sekolah anak di tanah Papua, merupakan sebuah fenomena yang seharusnya tidak perlu terjadi jika saja pemerintah dengan cermat melihat bahwa pendidikan adalah kebutuhan mendesak untuk masa depan dan sebagai Hak asasi manusia,” kata Octovianus Takimai, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Bandung.
Yayasan Pemuda Insos Kabor Biak, YAPIKBI, berpendapat beda. Dalam laporannya di situs YAPIKBI, pendidikan di Papua tidak pernah diprioritaskan. YAPIKBI, dengan direkturnya Agust Rumbiak menilai, Papua sudah sangat lama menjadi provinsi. Namun selalu terbelakang. Tingkat SDMnya juga sangat rendah. Padahal daerah ini memiliki kekayaan yang luar biasa. “Kwalitas pendidikan di Papua sangat rendah, ini terjadi pula di Biak”. “Tingkat pengetahuan anak yang menyelesaikan SD dan SLTP sangat rendah. Karena orang-tua tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan,” demikian disebutkan.
Ternyata masalah anak putus sekolah di Papua tidak hanya terjadi di wilayah pesisir. Di pegunungan, dari hasil survey World Vision Indonesia (WVI), 2007, disebutkan anak SD DO mencapai 40 %. “Mutu pendidikan Jayawijaya harus ada peningkatan, survey kami hanya 78 persen siswa yang berpartisipasi di tingkat SMP,” kata staf Departemen Komunikasi WVI, Enda Balina.
Di Papua Barat, jumlah anak DO berjalan lurus dengan kemiskinan yang mendera warganya. Fakta menunjukkan, provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Pada tahun 2007, Papua Barat termasuk dalam lima provinsi yang memiliki nilai produk domestik regional bruto (PDRB) terendah di antara 28 provinsi lain. Kecuali Maluku yang mencatat 1,45 %. Putus SD di wilayah ini, termasuk Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Gorontalo, mencapai 3-5 %. Di tingkat SMP, angkanya lebih tinggi lagi, 2-7 %. Kekurang berdayaan secara ekonomi jelas mempengaruhi kelangsungan pendidikan di wilayah dengan Ibukota Manokwari itu. Dengan pendapatan per kapita per tahun Rp 3 juta hingga Rp 5 juta, bersama dengan tiga wilayah lainnya, total anak putus SMP, hampir mencapai 10.000. Sementara lebih dari 31.000 siswa SD juga mengalami putus sekolah.
Ketua Dewan Pembina Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kabupaten Keerom, Papua, Fransiska Ni Made Santun Watae, dalam acara penyerahan sertifikat kepada 114 anak putus SD beberapa waktu lalu, mengatakan, Dinas Pendidikan dan Pengajaran selayaknya harus memperhatikan anak putus sekolah tersebut.
Pernyataan Ni Made sepertinya dibuktikan. Sekjen Depdiknas Dodi Nandika, mengatakan, tahun ini Depdiknas menaikkan bantuan siswa miskin di semua level pendidikan. Bantuan itu, kata Dodi, langsung diberikan kepada siswa. Bantuan akan dimanfaatkan untuk keperluan pribadi siswa. Seperti, membeli seragam, buku tulis, maupun transport. Diharapkan bantuan ini dapat mengurangi angka putus sekolah secara bertahap. “Sehingga, akhirnya tak ada lagi anak putus sekolah,” ujarnya.
Angka putus sekolah usia 7-13 tahun mencapai 841 ribu dari total 28,1 juta siswa SD. Total dana yang dialokasikan Depdiknas sebesar Rp 3 triliun. Sementara anak usia SMP yang tidak dapat mengakses pendidikan sekitar 211.643 orang.
Untuk jenjang SD, jumlah penerima bantuan bertambah menjadi 2,2 juta dari sebelumnya 690 ribu anak. Demikian pula dengan SMP. Jumlah penerimanya tahun ini sebanyak 998 ribu anak dengan nominal bantuan Rp 48 ribu per bulan. Tahun sebelumnya, bantuan diterima sekitar 499 ribu anak.
Di jenjang SMA, beasiswa miskin diberikan untuk 310 ribu anak. Total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 242 miliar per tahun. Sementara untuk siswa SMK, bantuan diberikan untuk sekitar 928.539 siswa. Lebih banyak dibandingkan tahun lalu yang jumlahnya sekitar 700.000 siswa. Bantuan yang diterima siswa per tahun mencapai Rp 780 ribu. Anggaran yang dialokasikan cukup besar mencapai Rp 724 miliar. Bantuan ini lepas dari sumbangan warga Indonesia dan Belgia sebesar 7.000 euro untuk membantu anak putus sekolah di Indonesia. Termasuk Papua. (JUBI/Dominggus A Mampioper/JR)

Rabu, 16 Juni 2010

Pekerja Anak di NTT 23.103 Orang

Media Indonesia. Sabtu, 05 Juni 2010 13:39 WIB
Penulis : Palce Amalo


KUPANG--MI: Sebanyak 23.103 anak di bawah usia 15 tahun di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja membantu orang tua mereka.

Munculnya pekerja anak disebabkan kemiskinan yang melilit masyarakat daerah itu sehingga memaksa anak-anak memilih tidak bersekolah dan terjun ke dunia kerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari kantong-kantong kemiskinan di pedesaan seperti di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara.

"Pekerja anak tertekan secara fisik dan mental sehingga membahayakan masa depan mereka," kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT Mien Noach di Kupang, Sabtu (5/6).

Dari jumlah itu, sebanyak 15.333 di antara mereka terdiri dari anak perempuan yang juga
rentan terhadap kekerasan seksual. Jumlah itu juga belum termasuk catatan LPA NTT yang menyebutkan 1.335 anak bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK).

Pekerja anak umumnya ditemukan di jalan-jalan di Kota Kupang, pelabuhan, terminal, dan pasar tradisional. Mereka bekerja sebagai penjual koran, jagung bakar, tas plastik, kue, dan penjual asesoris. Sejumlah anak juga ditemukan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pramuniaga, dan pelayan di warung makan.

Menurut Mia, dari puluhan ribu pekerja anak tersebut 18,91% di antaranya tidak pernah mengenyam bangku sekolah, 40,42% tidak tamat Sekolah Dasar (SD), dan 39,295 tamat SD. Hanya 1,35% yang menamatkan pendidikan SMP. (PO/OL-01)

Jumat, 04 Juni 2010

Perlindungan anak

Sejarah perlindungan anak di Indonesia yang dalam sistem ketatanegaraan dimulai pada tahun 1958, dimana pada saat itu Kamsinah Wirjowratmoko dari Partai Nasional Indonesia (PNI) melontarkan gagasan bahwa hak anak perlu dilindungi sudah dimasukkan kedalam kelompok hak asasi yang disepakati bersama, karena Indonesia menghadapi masalah besar anak-anak yang terlantar dan berperilaku menyimpang dan demoralisasi yang terjadi dikalangan muda. Lebih lanjut Ia menyatakan bahwa mengacu di dalam deklarasi Hak-hak Anak yang dinyatakan dalam konferensi internasional Persatuan Kesejahteraan Anak di Jenewa pada tahun 1923, yang diperbarui pada tahun 1948, maka saat itu PNI mengusulkan tujuh poin mengenai hak anak dimasukkan di dalam Undang-undang baru . Hal sama juga disampaikan oleh Setiati Surasto dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menganjurkan agar hak anak dimasukkan dalam Undang-undang dasar baru supaya mendapat perlindungan.

Awasi peningkatan anak-anak yang dipekerjakan

Solo. Sebentar lagi merupakan hari libur panjang bagi anak-anak sekolah. Berbagai keinginan mulai dipikirkan, bahkan ada juga yang sudah tertulis didalam agenda mereka. liburan panjang, adalah liburan yang akan digunakan untuk melepaskan sejenak dari semua aktifitas sekolah, yang diisi dengan kegiatan mulai dari rekreasi hingga berkunjung ke rumah kerabat.

Di sisi lain, ada anak yang justru mengisi kegiatan mereka dengan membantu orang tua di rumah. Bagi kalangan keluarga miskin, sangat mewah rasanya untuk memikirkan rencana kegiatan rekreasi, yang ada justru berada di rumah atau bahkan bekerja. Bagi anak-anak dari keluarga miskin, bekerja adalah sesuatu yang dianggap hal biasa, dimana anak bisa membantu orang tua dalam menambah kebutuhan hidup keluarga.

Lihat saja dilingkungan sekitar kita, banyaknya anak-anak yang mau menjadi tenaga kerja, terutama disektor home industri akan selalu disambut baik. Dengan berbagai banyak alasan, seperti membantu atau mendidik anak untuk bertanggung jawab menjadikan para pengusaha tersebut memperoleh pembenarannya. Akan tetapi dari berbagai penelitian yang banyak dilakukan, justru para pengusaha yang mau menerima anak-anak ini agar bisa membayar lebih murah.

Justru yang menjadi persoalan adalah, lemahnya pengawasan yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah, terutama petugas pengawas tenaga kerja yang terasa "tumpul" dalam menjalankan tugasnya. Dari pengalaman penulis ketika bertemu dengan para pengawas tenaga kerja didaerah, rata-rata mereka memiliki alasan bahwa tidak ada pendananaan yang sering dijadikan pembenar tindakannya tersebut. Selain itu, banyak Dinastenagakerja yang ada di daerah yang masih belum memiliki data sama sekali menyangkut soal pekerja anak.

Sebagai warga yang peduli terhadap situasi anak, penulis berkeinginan, agar situasi seperti ini harus segera diakhiri. tentunya dengan keterlibatan banyak pihak, setidak-tidaknya bisa mengurangi hal ini.

Selasa, 01 Juni 2010

cinta

Sebut saja IW (bukan nama sebenarnya), usia 14 tahun. Sudah 5 tahun Ia bekerja, disalah satu home industri konveksi di Solo. Sudah 4 tahun Ia tidak sekolah lagi, dikarenakan sudah tidak ada yang sanggup membiayai kebutuhan sekolahnya. Meski Ia masih bercita-cita ingin melanjutkan sekolahnya, akan tetapi keinginan itu Ia kubur dalam-dalam, sebab biaya sekolah yang begitu tinggi, tidak mungkin akan bisa terbayarkan. Apalagi sebagai anak yang tertua dari tiga bersaudara, sangatlah tidak mungkin bagi IW untuk terlalu berharap banyak pada orang tuanya untuk melanjutkan sekolahnya. Sebab ayah IW yang berprofesi sebagai supir becak, dan ibunya sebagai kuli panggul di pasar tentunya sangat sedikit sekali penghasilannya. terkadang upah dari hasil kerja orang tuanya, masih jauh dari mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

Oleh karena itu, untuk membantu kebutuhan sehari-hari, IW terpaksa harus bekerja. Proses mencari pekerjaan inipun bagi IW bukanlah perkara mudah. Selain dibutuhkan ketrampilan yang memadai, juga perlu adanya koneksi, yang bisa meyakinkan si pemilik usaha percaya dan mau merekrutnya sebagai buruhnya. Selama ini, ketrampilan yang dimiliki IW hanyalah menjahit, yang dia peroleh sewaktu kursus di tetangganya.

Sehari-hari IW harus berangkat kerja mulai pukul 06.00, dengan berjalan kaki dari rumahnya menuju jalan raya, yang berjarak sekitar 500 meter. Setelah itu, Ia harus naik angkutan umum. IW berusaha untuk berangkat lebih pagi, agar sampai ditempat kerjanya tepat waktu. ditempat kerjanya ini, hingga sampai saat ini, IW mendapat jatah untuk memasang kancing baju. Selama bekerja di konveksi, Ia menerima upah mingguan sebesar Rp.60.000. Tentu uang sebesar itu jauh dari mencukupi. Akan tetapi tekat IW bekerja adalah bagaimana Ia bisa membantu untuk meringankan beban orang tuanya.

Keterpaksaan anak-anak bekerja, sebagaimana yang dialami oleh IW bukanlah hal yang luar biasa, sebab masih banyak anak-anak di pedesaan ataupun di perkotaan yang mengalami nasib yang sama, atau bahkan lebih tragis dari itu.

yang patut menjadi pertanyaan adalah, haruskah ana-anak tersebut bekerja dianggap sebagai kewajaran atau sesuatu yang harus disikapi? lalu sikap seperti apa yang harus dilakukan?