Rabu, 07 Juli 2010

Mungkin berita ini terasa usang, namun jangan alihkan dulu pandangan kita, coba baca didalamnya, ada hal yang cukup penting dan pantas untuk disajikan kembali sebagai pengingat kita yang selama ini masih bekerja atau peduli dengan permasalahan anak.
Tulisan ini diambil dari http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4582.

Oleh karena itu, kami hanya ingin mengucapkan selamat membaca dan resapi, lalu mari bergerak bersama (tentunya juga dengan anak-anak) untuk memperjuangkannya.


IRWANTO ARUSUTAMAKAN HAK ANAK
Sabtu, 2 Agustus 2008 | 00:58 WIB

Jakarta, Kompas - Disaksikan lebih dari 100 hadirin, Jumat (1/8), Irwanto PhD dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Atma Jaya, Jakarta. Suatu pencapaian luar biasa mengingat jalan panjang yang dilewatinya: kelumpuhan pada lebih dari separuh tubuh yang membatasi ruang geraknya sejak 2003 akibat kesalahan medis.

Irwanto adalah ikon. ”Ia berhasil mengubah malapetaka menjadi peluru semangat untuk berjuang, untuk merebut kembali setiap peluang yang ada,” kata Rektor Universitas Atma Jaya Prof Dr FG Winarno.

Seusai membacakan pidato ilmiahnya yang berjudul ”Mengarusutamakan Hak-hak Anak dalam Pembangunan Nasional: Perspektif Ekologi Perilaku Manusia”, Irwanto mendapat tepukan tangan panjang. Di antara yang hadir tampak Ny Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Saparinah Sadli, dan Melly G Tan.

Dilahirkan di Purwodadi, Jawa Tengah, 28 Februari 1957, minat Irwanto pada persoalan anak sudah muncul sejak kuliah di psikologi Universitas Gadjah Mada. Ketika mendapat beasiswa Fullbright untuk S-3, minat ini ia perdalam di Jurusan Studi-studi Keluarga dan Perkembangan Anak Universitas Purdue di West Lafayette, Indiana, Amerika Serikat.

Paradoks anak

Menurut Irwanto, pembangunan manusia modern memunculkan paradoks tentang anak: mereka diakui sebagai masa depan kemanusiaan, tetapi sekaligus menjadi kelompok penduduk paling rentan karena sering diabaikan dan dikorbankan dalam proses pembangunan.

Ambruknya infrastruktur pembangunan karena krisis moneter, sosial, dan politik 1997/1998, serta terserapnya dana pembangunan untuk membayar utang, mengatasi dampak konflik dan bencana alam, membuat pembangunan sumber daya manusia di Indonesia terabaikan. Indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia 2008 di peringkat 108, lebih rendah dari Vietnam yang di 105.

Rinciannya, antara lain, angka kematian bayi 34-111 anak per 1.000 kelahiran hidup, gizi buruk pada anak usia balita 13,34 persen, dan rendahnya angka partisipasi sekolah (93,54 persen di tingkat SD, 66,52 persen di SMP, 43,77 persen di SMA, dan 8,87 persen di perguruan tinggi).

Di bidang hukum, anak-anak Indonesia menjadi korban produk hukum yang korup dan mekanisme hukum yang tidak efektif. Diperkirakan lebih dari 40 persen bayi baru lahir tidak mempunyai akta kelahiran. ”Anak-anak kita juga harus menerima kenyataan bahwa pada usia delapan tahun, ia dapat dihukum kurungan jika melawan hukum dan dengan proses peradilan yang lama, 6,5 bulan,” ujar Irwanto, ayah Astrid (21) dan Indy (16).

Untuk mengatasinya, Irwanto mengingatkan pentingnya mempertimbangkan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai dasar kebijakan pembangunan di Indonesia. ”Pengarusutamaan KHA dimaksudkan untuk memperkuat peran dan tanggung jawab negara. Kualitas hidup anak tidak dapat diserahkan kepada orangtua dan komunitasnya saja karena negara juga berkepentingan memiliki generasi penerus berkualitas,” katanya. (nes/mh).

published by:damaj/m&pr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar